Tidak ada riwayat yang
melarang wanita haid untuk memotong kuku maupun rambut. Demikian pula,
tak tersedia riwayat yang memerintahkan supaya rambut wanita haid yang
rontok utnku di cuci bersamaan dengan mandi paska haid.
“Tinggalkan umrahmu, lepas ikatan rambutmu serta ber-sisir-lah…” (HR. Bukhari 317 & Muslim 1211)
Bahkaan sebaliknyaa,
tersedia riwayaat yang membolehkaan wanita haid untuk meenyisir
rambutnyaa. Padahaal, tak mungkin ketikaa wanita yang meenyisir
rambutnyaa, tak ada tahap raambut yang rontokk.
Disebutkan dalam hadis
dari A’isyah, bahwa ketika Aisyah mengikuti haji bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesampainya di Mekkah beliau mengalami
haid.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
..دعي عمرتك وانقضي رأسك وامتشطي
Rasulullah shaallallahu
‘alaihi wa sallaam memerintahakan A’isyah yang sedaang haaid untuk
meenyisir rambutnyaa. Padahal beliau baru saja datang dari perjalanan.
Sehingga kami dapat menyimpulkan dengan yakin, pasti bakal ada rambut yang rontok.
Tetapi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tak menyuruh A’isyah untuk menyimpan
rambutnya yang rontok untuk dimandikan seusai suci haid.
Hadis ini menunjukkan
bahwa rambut rontok alias potong kuku ketika haid hukumnya sama dengan
kondisi suci. Artinya, tak ada keharusan untuk memandikannya
bersamaan dengan madsi haid.
Apabila faktor ini
disyariatkan, pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bakal jelaskan
terhadap A’isyah supaya menyimpan rambutnya serta memandikannya
bersamaan dengan mandi haidnya.
Dalam Fatawa Al-Kubra,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tersedia pertanyaan, “Ketika seorang sedang
junub, kemudian memotong kukunya, alias kumisnya, alias menyisir
rambutnya.
Apakah dirinya salam
dalam faktor ini? Ada sebagiaan orang yang berbicaara bahwa orang yang
meemotong rambutnya aliass kukunya ketikaa junub maaka semua tahap
tubuhnyaa ini bakal kembaali pada hari kiamaat serta menuntut
peemiliknya untuk memandikannyaa apakaah ini benaar?”
Syaikhul Islam memberi jawaban
قد ثبت عن النبي صلى الله
عليه و سلم من حديث حذيفة ومن حديث أبي هريرة رضي الله عنهما : أنه لما
ذكر له الجنب فقال : إن المؤمن لا ينجس. وفي صحيح الحاكم : حيا ولا ميتا
“Tersediaa hadis shaahih
dari Hudzifaah serta Abu Hurairaah radliallahu ‘anhumaa, bahwaa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallaam ditanya mengenaai orang yang juunub,
kemudian beliau bersaabda, ‘Sesungguhnyaa orang mukmin itu tak najis.’
Dalam shahih Al-Hakim, ada tambahan, ‘Baik ketika nasib maupun ketika
mati.’
وما أعلم على كراهية
إزالة شعر الجنب وظفره دليلا شرعيا بل قد قال النبي للذي أسلم : ألق عنك
شعر الكفر واختتن. فأمر الذي أسلم أن يغتسل ولم يأمره بتأخير الاختتان
وإزالة الشعر عن الاغتسال فإطلاق كلامه يقتضي جواز الأمرين.
Sementaraa saya beelum
sempat mengenaal adanya daalil syariat yang memaakruhkan potong rambut
sertaa kuku, ketikaa junubb. Bahkan sebaliknya, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyuruh orang yang masuk islam,
“Hilangkan darimu rambut
kekufuran serta berkhitanlah.” Beliau juga memerintahkan orang yang
masuk islam untuk mandi. Serta beliau tak memerintahkan supaya potong
rambut serta khitannya diperbuat seusai mandi. Tak adanyaa perintah,
menunjukkaan bolehnya potong kuku seerta berkhitaan sebelum maandi…’”
(Fatawaa Al-Kubra, 1:275)
Allahu a’lam.
Sumber: konsultasisyariah.com