Bagaimanakah Nabi memberikan petunjuk bagi para keluarga muslim
soal memilih laki-laki yang layak menjadi kepala rumah tangga, sekaligus
pendidik keluarga, suami dan ayah.
Tolok ukur yang salah dalam memilih laki-laki, pernah terjadi pada masa Rasulullah. Karena hanya melihat dari luar saja, maka, peluang untuk kita hari ini berbuat kesalahan lebih besar lagi.
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, dikisahkan dari Sahal, “Seorang laki-laki melewati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau berkata (kepada para shahabat), Bagaimana menurut kalian orang ini?
Mereka menjawab, Jika ia melamar diterima, jika merekomendasikan diterima dan jika bicara didengar. Kemudian beliau diam.
Berikutnya lewat lagi seorang laki-laki dari kalangan orang-orang miskin. Beliau kembali bertanya, Bagaimana menurut kalian orang ini?
Mereka menjawab, Jika ia melamar, tidak akan diterima. Jika merekomendasikan tidak diterima dan jika bicara tidak didengar.
Rasulullah bersabda, Yang ini lebih baik dari sepenuh bumi orang seperti yang tadi (pertama),” (HR. Bukhari).
Ya, karena shahabat hanya melihat penampilan. Hanya karena miskin dengan penampilan seadanya dan tidak menarik, kemudian dianggap tidak layak. Jadi, semoga kisah ini tidak membuat kita mengulangi kesalahan yang sama.
Yaitu, melihat hanya dari penampilan dan kekayaan saja. Kalimat Nabi menjungkalkan penilaian para shahabat, “Yang ini lebih baik dari sepenuh bumi orang seperti yang tadi (pertama)”. Tak tanggung-tanggung, satu berbanding sepenuh bumi.
Maka, kita harus melihat lebih dalam langsung dari sabda Nabi. Laki-laki dengan ciri seperti apa yang layak menjadi suami, ayah sekaligus menantu. Berikut ini hadits-hadits Nabi tentang memilih laki-laki yang layak :
“Wahai pemuda, siapa yang memiliki Baah, menikahlah karena bisa lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Siapa yang belum sanggup, maka puasalah karena akan menjadi benteng baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Jika ada yang datang kepada kalian yang telah kalian ridhoi akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah ia karena jika tidak akan menimbulkan fitnah di bumi ini dan kerusakan yang luas. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Tirmidzi berkata: Hasan Ghorib)
“Nabi shallallahu alaihi wasallam suatu saat dalam sebuah perjalanan. Seorang yang ahli menggiring unta dengan langgamnya, melakukan hal tersebut. Nabi berkata: Berlaku lembutlah wahai Anjasyah terhadap kaca.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Berpesanlah yang baik terhadap wanita. Karena wanita diciptakan dari tulang rusuk. Yang paling bengkok dari rusuk adalah yang paling atas. Jika kamu meluruskannya, kamu bisa mematahkannya. Jika kamu biarkan, akan terus bengkok. Maka berpesanlah yang baik terhadap wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari beberapa petunjuk Nabawi di atas, kita mendapatkan kejelasan kriteria laki-laki yang layak menjadi pemimpin rumah tangga :
1. Al-Baah
An Nawawi menjelaskan, “Al Baah mempunyai 4 cara membacanya sebagaimana yang disampaikan oleh Al Qodhi ‘Iyadh. Yang paling terkenal: al Baah. Yang kedua: al Bah. Yang ketiga: Al Ba’. Dan yang keempat: Al Bahah.
Aslinya dalam bahasa berarti: Jima’(senggama). Diambil dari kata al Mubaah yang artinya rumah. Para ulama berbeda pendapat tentang arti Al-Baah. Pertama yang paling benar: Jima’…
Yang kedua: Beban tanggung jawab pernikahan. (Al Minhaj)
Jadi, dalam kata ini terdapat 2 arti:
“Jika Anda tidak menikahkan orang yang kalian ridhoi agama dan akhlaknya, semen-tara kalian memilih sekadar keturunan, ketampanan dan harta. (Kerusakan yang luas) yaitu jika kalian tidak menikahkan sang putri kecuali hanya kepada yang punya harta dan kehormatan, akan banyak wanita tanpa suami dan laki-laki tanpa istri. Muncullah banyak fitnah zina. Dan berikutnya para orangtua menanggung aib dan mencuatlah fitnah dan kerusakan, yang berefek pemutusan nasab, krisis kebaikan dan penjagaan diri.” (Tuhfah al Ahwadzi)
Suatu saat, seseorang berkata kepada Al Hasan al Bashri: Kepada siapa saya nikahkan putriku? Al-Hasan berkata: Kepada yang bertakwa kepada Allah. Jika ia mencintainya, akan memuliakannya. Jika ia membencinya, tidak akan mendzaliminya.
Masya Allah kalimat yang sederhana tetapi dengan target agung.
Asy’ Sya’bi pernah berkata: Siapa yang menikahkan putrinya dengan orang yang fasik, sungguh telah memutuskan silaturahimnya. (Lihat: Al Aba’ madrasah al Abna’, Fahd Muhammad)
Dengan demikian, syarat dalam poin ini adalah : laki-laki harus menjaga agama, amanah dan akhlaknya terhadap istrinya dan memperlakukannya dengan baik.
3. Kelembutan
Kata pemimpin tidak boleh disalah artikan. Memimpin bukan berarti kasar. Justru seorang pemimpin harus memiliki kelembutan. Masalah besar pun harus selesai dengan kalimat lembut yang membalut ketegasannya.
Apalagi Nabi menyamakan wanita dengan kaca. Semakin jelas, laki-laki yang seperti apa yang harus dipilih. Mereka yang sabar, telaten, lembut sebagaimana perlakukan kita terhadap kaca yang rawan pecah jika salah dan tidak hati-hati dalam membawanya.
4. Mampu Meluruskan Tanpa Harus Mematahkan
Ini memerlukan ilmu memimpin istri dan rumah tangga yang tidak sederhana. Karena ada orang yang lembut tetapi tidak mampu meluruskan istri dalam pendidikan keluarga. Karena terlalu lembut dan tidak mau menyakiti.
Di sisi lain ada yang mampu meluruskan tetapi dengan cara memaksa dan kasar.
Yang dinginkan Nabi adalah laki-laki yang kaya ilmu dan cara sesuai dengan petunjuk Nabi, di mana dia mampu mendidik istrinya tetapi tak ada yang patah. Tidak mudah memang, justru di sinilah fungsi seorang pemimpin.
Mendidik dan mengevaluasi. Tetapi tetap penuh sentuhan kelembutan; baik pada sikap ataupun kalimat.
Membandingkan dengan kriteria wanita, ternyata kriteria laki-laki tidak sebanyak wanita. Karena memang berbeda perannya.
Jika seorang laki-laki:
Tolok ukur yang salah dalam memilih laki-laki, pernah terjadi pada masa Rasulullah. Karena hanya melihat dari luar saja, maka, peluang untuk kita hari ini berbuat kesalahan lebih besar lagi.
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, dikisahkan dari Sahal, “Seorang laki-laki melewati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau berkata (kepada para shahabat), Bagaimana menurut kalian orang ini?
Mereka menjawab, Jika ia melamar diterima, jika merekomendasikan diterima dan jika bicara didengar. Kemudian beliau diam.
Berikutnya lewat lagi seorang laki-laki dari kalangan orang-orang miskin. Beliau kembali bertanya, Bagaimana menurut kalian orang ini?
Mereka menjawab, Jika ia melamar, tidak akan diterima. Jika merekomendasikan tidak diterima dan jika bicara tidak didengar.
Rasulullah bersabda, Yang ini lebih baik dari sepenuh bumi orang seperti yang tadi (pertama),” (HR. Bukhari).
Ya, karena shahabat hanya melihat penampilan. Hanya karena miskin dengan penampilan seadanya dan tidak menarik, kemudian dianggap tidak layak. Jadi, semoga kisah ini tidak membuat kita mengulangi kesalahan yang sama.
Yaitu, melihat hanya dari penampilan dan kekayaan saja. Kalimat Nabi menjungkalkan penilaian para shahabat, “Yang ini lebih baik dari sepenuh bumi orang seperti yang tadi (pertama)”. Tak tanggung-tanggung, satu berbanding sepenuh bumi.
Maka, kita harus melihat lebih dalam langsung dari sabda Nabi. Laki-laki dengan ciri seperti apa yang layak menjadi suami, ayah sekaligus menantu. Berikut ini hadits-hadits Nabi tentang memilih laki-laki yang layak :
“Wahai pemuda, siapa yang memiliki Baah, menikahlah karena bisa lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Siapa yang belum sanggup, maka puasalah karena akan menjadi benteng baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Jika ada yang datang kepada kalian yang telah kalian ridhoi akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah ia karena jika tidak akan menimbulkan fitnah di bumi ini dan kerusakan yang luas. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Tirmidzi berkata: Hasan Ghorib)
“Nabi shallallahu alaihi wasallam suatu saat dalam sebuah perjalanan. Seorang yang ahli menggiring unta dengan langgamnya, melakukan hal tersebut. Nabi berkata: Berlaku lembutlah wahai Anjasyah terhadap kaca.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Berpesanlah yang baik terhadap wanita. Karena wanita diciptakan dari tulang rusuk. Yang paling bengkok dari rusuk adalah yang paling atas. Jika kamu meluruskannya, kamu bisa mematahkannya. Jika kamu biarkan, akan terus bengkok. Maka berpesanlah yang baik terhadap wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari beberapa petunjuk Nabawi di atas, kita mendapatkan kejelasan kriteria laki-laki yang layak menjadi pemimpin rumah tangga :
1. Al-Baah
An Nawawi menjelaskan, “Al Baah mempunyai 4 cara membacanya sebagaimana yang disampaikan oleh Al Qodhi ‘Iyadh. Yang paling terkenal: al Baah. Yang kedua: al Bah. Yang ketiga: Al Ba’. Dan yang keempat: Al Bahah.
Aslinya dalam bahasa berarti: Jima’(senggama). Diambil dari kata al Mubaah yang artinya rumah. Para ulama berbeda pendapat tentang arti Al-Baah. Pertama yang paling benar: Jima’…
Yang kedua: Beban tanggung jawab pernikahan. (Al Minhaj)
Jadi, dalam kata ini terdapat 2 arti:
- Laki-laki harus mempunyai kemampuan menafkahi batin istrinya.
- Laki-laki harus mempunyai harta membiayai kebutuhan rumah tangganya.
2. Akhlak dan Agama
Dalam riwayat lain disebutkan lebih jelas: Jika ada yang datang melamar. Dalam riwayat lain pula disebutkan: agama dan amanahnya.
Sementara akhlak diterjemahkan oleh para ulama lebih spesifik:
muasyarah (memperlakukan istri dengan baik). Muhammad Abdurrahman al
Mubarakfuri dalam kitabnya yang menjelaskan Sunan Tirmidzi berkata,Dalam riwayat lain disebutkan lebih jelas: Jika ada yang datang melamar. Dalam riwayat lain pula disebutkan: agama dan amanahnya.
“Jika Anda tidak menikahkan orang yang kalian ridhoi agama dan akhlaknya, semen-tara kalian memilih sekadar keturunan, ketampanan dan harta. (Kerusakan yang luas) yaitu jika kalian tidak menikahkan sang putri kecuali hanya kepada yang punya harta dan kehormatan, akan banyak wanita tanpa suami dan laki-laki tanpa istri. Muncullah banyak fitnah zina. Dan berikutnya para orangtua menanggung aib dan mencuatlah fitnah dan kerusakan, yang berefek pemutusan nasab, krisis kebaikan dan penjagaan diri.” (Tuhfah al Ahwadzi)
Suatu saat, seseorang berkata kepada Al Hasan al Bashri: Kepada siapa saya nikahkan putriku? Al-Hasan berkata: Kepada yang bertakwa kepada Allah. Jika ia mencintainya, akan memuliakannya. Jika ia membencinya, tidak akan mendzaliminya.
Masya Allah kalimat yang sederhana tetapi dengan target agung.
Asy’ Sya’bi pernah berkata: Siapa yang menikahkan putrinya dengan orang yang fasik, sungguh telah memutuskan silaturahimnya. (Lihat: Al Aba’ madrasah al Abna’, Fahd Muhammad)
Dengan demikian, syarat dalam poin ini adalah : laki-laki harus menjaga agama, amanah dan akhlaknya terhadap istrinya dan memperlakukannya dengan baik.
3. Kelembutan
Kata pemimpin tidak boleh disalah artikan. Memimpin bukan berarti kasar. Justru seorang pemimpin harus memiliki kelembutan. Masalah besar pun harus selesai dengan kalimat lembut yang membalut ketegasannya.
Apalagi Nabi menyamakan wanita dengan kaca. Semakin jelas, laki-laki yang seperti apa yang harus dipilih. Mereka yang sabar, telaten, lembut sebagaimana perlakukan kita terhadap kaca yang rawan pecah jika salah dan tidak hati-hati dalam membawanya.
4. Mampu Meluruskan Tanpa Harus Mematahkan
Ini memerlukan ilmu memimpin istri dan rumah tangga yang tidak sederhana. Karena ada orang yang lembut tetapi tidak mampu meluruskan istri dalam pendidikan keluarga. Karena terlalu lembut dan tidak mau menyakiti.
Di sisi lain ada yang mampu meluruskan tetapi dengan cara memaksa dan kasar.
Yang dinginkan Nabi adalah laki-laki yang kaya ilmu dan cara sesuai dengan petunjuk Nabi, di mana dia mampu mendidik istrinya tetapi tak ada yang patah. Tidak mudah memang, justru di sinilah fungsi seorang pemimpin.
Mendidik dan mengevaluasi. Tetapi tetap penuh sentuhan kelembutan; baik pada sikap ataupun kalimat.
Membandingkan dengan kriteria wanita, ternyata kriteria laki-laki tidak sebanyak wanita. Karena memang berbeda perannya.
Jika seorang laki-laki:
- Mampu menafkahi secara batin
- Mampu menafkahi secara harta
- Istiqomah dalam agama
- Memegang teguh amanah
- Akhlak yang mulia
- Mampu mendidik dan meluruskan kesalahan
- Membalut kepemimpinan dengan kelembutan